Belajar Bahasa Arab [22]
Program Belajar Kaidah Bahasa Arab 1 Bulan
Bismillah. Alhamdulillah pada kesempatan ini kita bisa berjumpa kembali dalam pelajaran kaidah bahasa arab. Pada bagian-bagian terdahulu telah kita pelajari bersama bahwa isim ada yang mu’rob dan ada yang mabni. Demikian pula fi’il ada yang mu’rob dan ada yang mabni.
Isim yang mu’rob ada tiga keadaan; marfu’, manshub, dan majrur. Adapun fi’il yang mu’rob ada tiga keadaan; marfu’, manshub, dan majzum. Tanda dasar untuk i’rob ialah marfu’ dengan tanda dhommah, manshub dengan tanda fathah, majrur dengan tanda kasroh, dan majzum dengan tanda sukun. Pada fi’il telah kita pelajari bahwa fi’il yang mu’rob hanya ada pada kelompok fi’il mudhori’ dengan catatan selama dia tidak bersambung dengan nun inats atau nun taukid. Fi’il yang mu’rob ini ada tiga bentuk; sahih akhir, mu’tal akhir, dan af’alul khomsah.
Fi’il yang mabni mencakup fi’il madhi, fi’il amr, dan fi’il mudhori’ yang bersambung dengan nun inats atau nun taukid. Misalnya kata ‘kataba’ artinya ‘telah menulis’; ini adalah fi’il madhi, dan ia selalu tetap akhirannya alias mabni. ‘kataba’ ini mabni dengan tanda fathah. Contoh lain ‘katabtu’ artinya ‘aku telah menulis’ ia juga mabni dengan tanda sukun pada huruf ba’. Tanda mabninya ini bisa kita lihat pada huruf asli yang terakhir pada fi’il madhi.
Kata ‘katabuu’ misalnya yang artinya ‘mereka (lelaki) telah menulis’ merupakan fi’il madhi. Ia mabni dengan tanda dhommah. Dhommahnya dimana; yaitu yang ada di atas huruf ba’, sebab huruf ba’ ini adalah huruf asli yang terakhir dari kata ‘katabuu’. Huruf asli pada fi’il ini biasanya terdiri dari tiga atau empat huruf. Pada kata ‘katabuu’ ada tiga huruf asli yaitu kaf, ta’, dan ba’. Untuk melihat tanda mabninya kita lihat pada huruf asli yang terakhir yaitu huruf ba’.
Contoh lain pada kata ‘yaktubna’ artinya ‘mereka (perempuan) sedang menulis. Ini termasuk mabni juga; karena ia adalah fi’il mudhori’ yang bersambung dengan nun inats. Kata ‘yaktubna’ ini mabni dengan tanda apa? Ya, ia mabni dengan tanda sukun. Sukun yang mana? Sukun pada huruf ba’. Jadi bisa kita simpulkan bahwa untuk fi’il mudhori’ yang bersambung dengan nun inats maka ia mabni dengan tanda sukun. Harokat huruf ba’ dalam contoh ini tidak bisa berubah, selalu sukun.
Adapun apabila fi’il mudhori’ ini bersambung dengan nun taukid maka ia mabni dengan tanda fat-hah. Misalnya kata ‘yaktubanna’ artinya ‘dia (lelaki) benar-benar sedang menulis’. Di sini fi’ilnya bersambung dengan nun taukid secara langsung maka ia mabni dengan tanda fat-hah; maksudnya huruf ba’ di sini selalu fat-hah, tidak bisa berubah menjadi dhommah atau sukun. Oleh sebab itu kata ini tidak bisa berubah menjadi ‘yaktubunna’ atau ‘yaktubna’. Yang benar selalu dibaca dengan akhiran fathah -pada huruf ba’- yaitu yaktubanna. Mengapa yang dilihat huruf ba’? Karena huruf ba’ -dalam contoh kata ini- merupakan huruf asli yang terakhir.
Contoh lain kata ‘yadzhabna’ artinya ‘mereka perempuan sedang pergi’. Kata ini mabni atau mu’rob? Ya ia mabni karena bersambung dengan nun inats. Lalu apa tanda mabninya? Ia mabni dengan tanda sukun -pada huruf ba’- sehingga tidak bisa berubah menjadi dhommah atau fathah. Huruf ba’ adalah huruf asli yang terakhir pada kata ‘yadzhab’; sebab kata ini berasal dari kata ‘dzahaba’. Di sini ada tiga huruf asli, yaitu dzal, ha’, dan ba’.
Fi’il amr juga mabni. Misalnya kata ‘idzhab’ artinya ‘pergilah’. Ini adalah mabni dengan tanda sukun di akhir kata. Ia tidak bisa berubah menjadi dhommah atau fathah. Begitu pula kata ‘uktub’ artinya ‘tulislah’; ia juga mabni dengan tanda sukun. Akhirannya selalu sukun, tidak bisa berubah menjadi dhommah atau fathah. Demikian pelajaran kali ini, semoga bermanfaat bagi kita.
Unduh materi dari sini : belajar-22
Belajar Bahasa Arab [23]
Program Belajar Kaidah Bahasa Arab 1 Bulan
Bismillah. Alhamdulillah pada kesempatan ini kita bisa bertemu kembali dalam pelajaran ilmu kaidah bahasa arab. Pada pelajaran sebelumnya telah dibahas tentang fi’il yang mu’rob dan fi’il yang mabni. Kita juga sudah mengetahui tanda-tanda i’rob dan tanda-tanda mabni pada fi’il.
Pada kesempatan ini akan kita bahas seputar perubahan bentuk kata atau tashrif dari fi’il madhi menjadi fi’il mudhori’ lalu menjadi fi’il amr. Ilmu shorof atau tashrif membahas tentang perubahan bentuk kata atau pembentukan kata sebelum kata ini dimasukkan ke dalam sebuah kalimat. Misalnya dari kata ‘kataba’ ‘telah menulis’ bisa kita ubah menjadi ‘uktub’ artinya ‘tulislah’. Bisa juga diubah menjadi ‘kaatib’ artinya ‘penulis’, dst.
Diantara pembahasan tashrif yang penting dipahami adalah tentang pola perubahan bentuk dari fi’il madhi menjadi mudhori’ dan amr. Misalnya kata ‘jalasa’ artinya ‘telah duduk’. Bagaimana bentuk fi’il mudhori’nya? Apakah ia dibaca menjadi ‘yajlusu’ atau ‘yajlisu’? Ya, yang benar ia dibaca menjadi ‘yajlisu’. Mengapa demikian? Karena kata ‘jalasa’ masuk dalam bab fa’ala – yaf’ilu. Artinya jika diubah menjadi fi’il mudhori’ ia harus mengikuti rumus yaf’ilu – yajlisu. Kemudian jika sudah masuk bab yaf’ilu apa bentuk amrnya? Bentuk amr/perintah-nya adalah if’il – ijlis.
Jadi bisa kita ketahui bahwa untuk kata ‘jalasa’ misalnya ia akan berubah menjadi ‘yajlisu’ dalam bentuk mudhori’ dan berubah menjadi ‘ijlis’ dalam bentuk fi’il amr. ‘jalasa’ artinya ‘telah duduk’, ‘yajlisu’ sedang duduk, dan ‘ijlis’ artinya ‘duduklah’. Berbeda dengan kata ‘kataba’ artinya ‘telah menulis’. Bentuk mudhori’nya adalah ‘yaktubu’ artinya ‘sedang menulis’ dan bentuk fi’il amr-nya adalah ‘uktub’ artinya ‘tulislah’. Kata ‘kataba’ ini masuk pada bab fa’ala – yaf’ulu.
Ada lagi fi’il yang mengikuti pola berbeda seperti ‘dzahaba’ artinya ‘telah pergi’. Dalam bentuk mudhori’ ia berubah menjadi ‘yadzhabu’ artinya ‘sedang pergi’ dan dalam bentuk amr ia menjadi ‘idzhab’ artinya ‘pergilah’. Kata ‘dzahaba’ ini mengikuti bab fa’ala – yaf’alu. Oleh sebab itu kata ‘dzahaba’ tidak berubah menjadi ‘yadzhubu’ atau ‘yadzhibu’ karena ia sudah mengikuti jalur bab fa’ala – yaf’alu, bukan fa’ala – yaf’ilu atau fa’ala – yaf’ulu.
Dari pembahasan ini bisa kita simpulkan bahwa masing-masing fi’il telah memiliki jalur tersendiri dalam hal tashrif atau perubahan bentuknya. Ada yang mengikuti bab atau jalur fa’ala – yaf’ulu seperti ‘kataba-yaktubu’. Ada yang mengikuti jalur fa’ala – yaf’ilu seperti ‘jalasa-yajlisu’. Ada juga yang mengikuti bab fa’ala-yaf’alu seperti ‘dzahaba-yadzhabu’.
Untuk bisa membaca kitab arab gundul maka kita butuh memahami ilmu shorof selain memahami kaidah-kaidah nahwu. Ilmu shorof membahas rumus-rumus pembentukan kata, sedangkan kaidah nahwu menjelaskan keadaan akhir kata dan variasi perubahannya. Dari sudut pandang nahwu kita akan mengetahui apakah suatu fi’il misalnya dibaca dhommah atau fat-hah atau sukun. Dan dari sudut pandang shorof kita akan mengetahui apakah fi’il ini dibaca dengan rumus yaf’ulu -seperti yaktubu– atau yaf’ilu -seperti yajlisu– dst.
Dari pembahasan sebelumnya sudah kita ketahui bersama bahwa untuk fi’il mudhori’ hukum asalnya adalah mu’rob alias bisa berubah akhirannya kecuali apabila ia bersambung dengan nun inats atau nun taukid. Kita juga sudah mengenal contoh alat-alat penashob dan alat-alat penjazem. Apabila fi’il mudhori’ yang mu’rob ini dimasuki penashob atau penjazem maka ia akan berubah menjadi manshub atau majzum. Demikian pelajaran yang bisa kami sajikan dalam kesempatan ini. Semoga bermanfaat bagi kita semuanya. Wallahul muwaffiq.
Unduh materi dari sini : belajar-23
Belajar Bahasa Arab [24]
Program Belajar Kaidah Bahasa Arab 1 Bulan
Bismillah. Kaum muslimin yang dirahmati Allah, alhamdulillah pada kesempatan ini kita dapat bertemu kembali untuk melanjutkan pelajaran ilmu kaidah bahasa arab.
Pada kesempatan ini kita akan membahas seputar tanda-tanda mabni atau bina’ pada isim. Sebagaimana sudah kita ketahui bahwa isim ada yang akhirannya selalu tetap. Isim semacam ini disebut sebagai isim yang mabni. Isim yang mabni ada beberapa kelompok, diantaranya adalah; isim dhomir, isim istifham, isim syarat, isim maushul, dan isim isyarah.
Isim dhomir atau kata ganti adalah kata benda yang mewakili sejumlah orang baik lelaki atau perempuan. Misalnya ‘huwa’ artinya ‘dia 1 lelaki’, ‘anta’ artinya ‘kamu 1 lelaki’, ‘hum’ artinya ‘mereka lelaki’, ‘nahnu’ artinya ‘kami’. Semua isim dhomir akhirannya selalu tetap atau mabni. Sehingga tidak ada perubahan dari kata ‘huwa’ menjadi ‘huwu’ atau ‘huwi’ karena akhirannya tetap.
Isim istifham adalah kata tanya. Misalnya ‘man’ artinya ‘siapa’, ‘kaifa’ artinya ‘bagaimana’, ‘maa’ artinya ‘apa’, ‘mata’ artinya ‘kapan’. Ini adalah contoh-contoh isim istifham. Isim istifham akhirannya selalu tetap, tidak berubah harokat akhirnya. Misalnya ‘kaifa’ tidak bisa berubah menjadi ‘kaifu’ atau ‘kaifi’. Begitu pula ‘man’ akhirannya selalu sukun, tidak bisa berubah menjadi fathah atau dhommah.
Isim syarat adalah kata yang bermakna persyaratan misalnya ‘mahma’ artinya ‘bagaimana pun’, ‘man’ artinya ‘barangsiapa atau siapa pun’, ‘mata’ artinya ‘kapan pun’, ‘maa’ artinya ‘apa pun’. Ini adalah contoh-contoh isim syarat dan akhirannya selalu tetap alias tidak bisa berubah. Misalnya ‘mahma’ tidak bisa berubah menjadi ‘mahmu’ atau ‘mahmi’, dsb.
Isim maushul atau kata sambung misalnya ‘alladzi’ artinya ‘orang yang (1 lelaki)’, ‘alladziina’ artinya ‘orang-orang yang (banyak lelaki)’, ‘allati’ artinya ‘orang yang (1 perempuan)’. Ini adalah contoh-contoh isim maushul yang akhirannya tetap. Misalnya ‘alladziina’ tidak bisa berubah menjadi ‘alladziinu’ atau ‘alladziini’; ia tetap dibaca ‘alladziina’.
Isim isyarah atau kata penunjuk adalah kata-kata yang menunjukkan pada sesuatu misalnya ‘haadza’ artinya ‘ini (1 lelaki)’ atau ‘haadzihi’ artinya ‘ini (1 perempuan)’, ‘dzaalika’ artinya ‘itu (1 lelaki)’ atau ‘tilka’ artinya ‘itu’ (1 perempuan)’. Ini adalah contoh isim isyarah yang akhirannya selalu tetap atau tidak bisa berubah. Misalnya ‘haadza’ tidak bisa berubah akhirannya menjadi ‘haadzu’.
Dari pembahasan ini bisa kita simpulkan bahwa isim-isim yang mabni ini beraneka-ragam. Ada yang mabni dengan tanda sukun seperti ‘hum’ artinya ‘mereka’. Ada yang mabni dengan tanda fathah seperti ‘anta’ artinya ‘kamu 1 lelaki’. Ada yang mabni dengan tanda dhommah seperti ‘nahnu’ artinya ‘kami’. Ada juga yang mabni dengan tanda kasroh seperti ‘anti’ artinya ‘kamu 1 perempuan’. Intinya isim yang mabni itu akhirannya tidak bisa mengalami perubahan.
Berbeda dengan isim yang mu’rob. Isim yang mu’rob seperti sudah kita bicarakan dalam pelajaran terdahulu bisa berubah akhirannya misalnya dari kata ‘baitun’ artinya ‘sebuah rumah’ dengan akhiran dhommah bisa berubah menjadi ‘baitan’ dengan akhiran fathah (manshub), bisa juga menjadi ‘baitin’ dengan akhiran kasroh (majrur). Inilah faidah dari belajar ilmu nahwu; dimana kita akan bisa membedakan antara isim yang mabni dengan isim yang mu’rob. Dan apabila isim itu mu’rob bagaimana perubahannya dan apa saja faktor yang mempengaruhinya. Alhamdulillah kita sudah bahas dahulu kapan isim dibaca marfu’, kapan manshub, dan kapan majrur. Demikian sedikit materi yang bisa kami sajikan dalam kesempatan ini. Semoga bermanfaat.